GHG Protocol: Panduan Penting Biar Net Zero Nggak Jadi Sekadar Mimpi

Web Editor
24/11/2025
ghg-protocol-id

Di tengah ambisi global untuk mencapai net zero, dunia membutuhkan alat ukur yang universal, transparan, dan kredibel dalam menghitung emisi gas rumah kaca. Alat ukur tersebut adalah GHG Protocol.

Kerangka ini menjadi fondasi utama dalam memastikan bahwa klaim net zero yang dibuat oleh perusahaan, terutama di sektor energi, dapat diverifikasi dan dipercaya sebagai bukti nyata, bukan sekadar jargon keberlanjutan.

Apa Itu GHG Protocol?

GHG Protocol adalah kemitraan global yang mengembangkan standar akuntansi dan pelaporan emisi gas rumah kaca (GRK) yang paling banyak digunakan di seluruh dunia.

Inisiatif ini dimulai pada tahun 1998 oleh dua organisasi nirlaba internasional, yaitu World Resources Institute (WRI) dan World Business Council for Sustainable Development (WBCSD).

Tujuan utamanya adalah menciptakan standar yang dapat digunakan secara global untuk mengukur dan melaporkan emisi GRK dengan cara yang konsisten, transparan, dan dapat diverifikasi.

Standar pertama GHG Protocol, yaitu Corporate Standard, diterbitkan pada tahun 2001 dan sejak itu menjadi acuan utama bagi perusahaan, pemerintah, dan lembaga di seluruh dunia dalam mengelola dan melaporkan jejak karbon mereka.

Melalui kerangka kerja ini, organisasi dapat memahami sumber emisi mereka, menetapkan target pengurangan yang realistis, dan melaporkan kemajuan mitigasi perubahan iklim dengan lebih akurat.

Baca Juga: Natural Gas Liquids: Solusi Energi Ekonomis dengan Catatan Penting

Bagaimana Proses dalam GHG Protocol?

Proses pengukuran emisi menggunakan GHG Protocol bersifat metodologis dan bertahap, memastikan semua sumber emisi dipertimbangkan.

Menetapkan Batasan (Boundary Setting)

Langkah penting pertama dalam pelaporan emisi gas rumah kaca adalah menetapkan batasan (boundary setting). Proses ini mencakup dua jenis batasan utama:

  • Organizational Boundary: menentukan entitas atau perusahaan mana yang akan dihitung (misalnya, kantor pusat, seluruh anak perusahaan, atau pabrik).
  • Operational Boundary: mendefinisikan sumber-sumber emisi spesifik yang akan dihitung (dikategorikan menjadi Scope 1, 2, dan 3).

Lingkup Emisi (Scopes 1, 2, dan 3)

GHG Protocol dibagi menjadi 3 scopes untuk memastikan emisi dari hulu ke hilir teridentifikasi, yaitu:

  • Scope 1: Emisi langsung dari sumber yang dimiliki atau dikendalikan oleh perusahaan (misalnya pembakaran bahan bakar di fasilitas sendiri).
  • Scope 2: Emisi tidak langsung dari konsumsi listrik, panas, atau uap yang dibeli.
  • Scope 3: Emisi tidak langsung lainnya dari seluruh rantai nilai, seperti transportasi, limbah, atau aktivitas pemasok dan pelanggan.

Metodologi Perhitungan

Setelah batasan pelaporan ditetapkan, tahap berikutnya adalah perhitungan emisi gas rumah kaca secara sistematis.

Langkah ini dilakukan untuk mengukur seberapa besar emisi yang dihasilkan dari berbagai aktivitas operasional perusahaan. Berikut proses perhitungannya:

  • Identifikasi sumber emisi bisa muncul, seperti pembakaran bahan bakar di mesin, penggunaan listrik, proses industri, atau aktivitas logistik.
  • Pengumpulan data aktivitas, misalnya jumlah liter bahan bakar yang digunakan atau kWh listrik yang dikonsumsi. Data ini menunjukkan jumlah emisi yang dilepaskan.
  • Penyusunan inventaris emisi sebagai dasar untuk pelaporan, analisis tren emisi, serta penyusunan strategi pengurangan emisi di masa depan.

Baca Juga: LNG Liquefaction: Ubah Gas Alam Jadi Komoditas Bernilai Tinggi

Siapa yang Perlu Menggunakan GHG Protocol?

Pada prakteknya, GHG Protocol bukan hanya untuk aktivis lingkungan. Melainkan sebagai alat manajemen risiko dan pelaporan keuangan.

Lalu, siapa saja yang perlu menggunakan GHG Protocol?

Perusahaan Energi (Oil & Gas, Listrik, Energi Terbarukan)

Sektor energi merupakan penghasil emisi gas rumah kaca terbesar di dunia, terutama melalui:

  • Scope 1 (pembakaran bahan bakar fosil secara langsung)
  • Scope 3 (penggunaan produk energi oleh konsumen)

Oleh karena itu, perusahaan di sektor ini menjadi pengguna utama GHG Protocol untuk mengukur, mengelola, dan melaporkan emisi mereka secara transparan.

Industri Besar Lain

Tidak hanya sektor energi, berbagai industri besar lain seperti manufaktur, logistik, transportasi, dan konstruksi juga menggunakan GHG Protocol untuk mengukur dan melaporkan emisi gas rumah kaca mereka.

Kerangka ini membantu perusahaan mengidentifikasi sumber emisi utama, mengelola efisiensi energi, serta memenuhi tuntutan pelaporan dari investor, pelanggan, dan regulator.

Pemerintah dan Lembaga Regulasi

Selain sektor swasta, pemerintah dan lembaga regulasi di berbagai negara juga memanfaatkan GHG Protocol sebagai acuan dalam merancang kebijakan dan panduan pelaporan emisi.

Misalnya, U.S. Environmental Protection Agency (EPA) dan lembaga lingkungan di Eropa menggunakan prinsip-prinsip GHG Protocol untuk menyusun panduan pelaporan emisi bagi perusahaan dan sektor industri.

Baca Juga: Apakah Gas Alam Benar-benar Bisa Habis?

Kenapa GHG Protocol Penting untuk Net Zero?

GHG Protocol merupakan fondasi utama kredibilitas dalam klaim net zero. Kerangka ini menyediakan metode akuntansi emisi yang terstandar secara global, sekaligus memastikan bahwa data yang dihasilkan konsisten dan transparan.

Bagi perusahaan di Indonesia, penggunaan GHG Protocol memungkinkan mereka untuk membandingkan kinerja emisi dan target pengurangan dengan perusahaan sejenis di Eropa atau Amerika Serikat menggunakan bahasa data yang sama.

Selain itu, GHG Protocol membantu perusahaan melacak kemajuan menuju net zero melalui struktur Scope 1, Scope 2, dan Scope 3, sehingga sumber emisi di seluruh rantai nilai dapat dipetakan dengan jelas.

Baca Juga: Ternyata Ini Komponen Penyusun Gas Alam yang Bikin Bernilai Tinggi

Kenapa GHG Protocol Penting bagi LNG?

Bagi industri Liquefied Natural Gas (LNG), penerapan GHG Protocol memiliki peran yang sangat vital.

LNG sering disebut sebagai bahan bakar transisi menuju ekonomi rendah karbon karena menghasilkan emisi karbon dioksida lebih rendah dibandingkan batu bara atau minyak bumi.

Namun, kredibilitas posisi LNG sebagai bahan bakar “lebih bersih” sangat bergantung pada keakuratan pelaporan emisi gas rumah kaca. Di sinilah GHG Protocol berperan.

Industri minyak dan gas, termasuk LNG, disarankan untuk menggunakan metodologi yang konsisten dengan GHG Protocol.

Pendekatan ini memastikan bahwa data emisi, terutama yang berkaitan dengan metana (CH₄), dapat diukur dan dilaporkan secara kredibel serta diterima oleh investor dan pembeli internasional yang sangat memperhatikan isu iklim.

 

Referensi: