Peningkatan suhu global membuat krisis iklim semakin nyata, terutama disebabkan oleh masifnya emisi gas rumah kaca.
Dalam kondisi ini, mengukur jejak karbon menjadi penting untuk mengetahui seberapa besar dampak aktivitas manusia terhadap pemanasan global.
Upaya menurunkan jejak karbon menuntut pemanfaatan energi yang lebih bersih, seperti LNG (Liquefied Natural Gas). Lantas, apakah gas alam cair bisa menjadi solusi saat ini? Simak ulasannya di artikel ini.
Apa Itu Jejak Karbon (Carbon Footprint)?
Jejak karbon (carbon footprint) adalah ukuran total emisi gas rumah kaca (GRK) yang dilepaskan ke atmosfer akibat aktivitas langsung maupun tidak langsung dari suatu individu, perusahaan, produk, atau bahkan negara.
Emisi ini mencakup berbagai gas seperti karbon dioksida (CO₂), metana (CH₄), dan dinitrogen oksida (N₂O).
Untuk memudahkan pengukuran, seluruh gas tersebut disetarakan ke dalam satu satuan yang sama, yaitu CO₂e (Carbon Dioxide Equivalent).
Satuan ini menunjukkan seberapa besar kontribusi masing-masing GRK terhadap pemanasan global jika dibandingkan dengan karbon dioksida. Penghitungan jejak karbon ini menjadi dasar penting dalam merancang strategi pengurangan emisi yang efektif dan berkelanjutan.
Baca Juga: Energi Angin vs Fosil, Ini Fakta dan Angkanya!
Apa Saja Sumber Utama Jejak Karbon?
Sebagian besar jejak karbon global berasal dari sektor energi, industri, serta aktivitas sehari-hari yang masih mengandalkan bahan bakar fosil.
Beberapa sumber utama yang menyumbang jejak karbon meliputi:
- Pembakaran energi fosil untuk listrik dan panas (batu bara dan minyak bumi).
- Proses industri berat seperti pembuatan semen, baja, pupuk, dan bahan kimia.
- Transportasi darat, laut, dan udara yang memakai bahan bakar fosil.
- Konsumsi energi rumah tangga dan komersial seperti penggunaan listrik, AC, dan pemanas dari sumber non-terbarukan.
Aktivitas-aktivitas tersebut merupakan penyebab terbesar emisi gas rumah kaca yang berkaitan langsung dengan kebutuhan energi dan produksi material di kehidupan modern.
Baca Juga: IMO 2020 dan LNG jadi Solusi Final? Cek Faktanya
Bagaimana Cara Mengukur Jejak Karbon?
Pengukuran jejak karbon dilakukan melalui proses yang sistematis dan mengikuti standar internasional agar hasilnya akurat, transparan, dan dapat dipertanggungjawabkan.
Langkah awal perhitungan biasanya melibatkan identifikasi sumber emisi serta konversi berbagai gas rumah kaca ke dalam satuan CO₂e (Carbon Dioxide Equivalent).
Beberapa standar yang umum digunakan untuk mengukur dan melaporkan jejak karbon antara lain:
- GHG Protocol: kerangka kerja akuntansi emisi paling umum di dunia, membagi emisi ke dalam Scope 1, Scope 2, dan Scope 3.
- ISO 14064: standar internasional untuk pengukuran, pelaporan, dan verifikasi emisi GRK.
Penghitungan yang terstandarisasi ini menjadi dasar ilmiah untuk menentukan target pengurangan emisi dan strategi mitigasi yang efektif dan kredibel.
Baca Juga: Bahan Bakar Gas Bisa Kurangi Polusi Batu Bara? Begini Faktanya
Apa Dampak Peningkatan Jejak Karbon?
Jejak karbon secara langsung berkontribusi terhadap pemanasan global. Laporan IPCC menegaskan bahwa manusia telah menyebabkan peningkatan suhu rata‑rata permukaan global sejak era pra-industri (1850–1900).
Suhu rata-rata global telah meningkat sekitar 1,34 °C hingga 1,41 °C dibandingkan periode pra-industri.
Sementara itu, data dari IEA menunjukkan bahwa emisi karbon dioksida (CO₂) dari sektor energi dan industri global pada 2024 mencapai sekitar 37,8 gigaton CO₂, level tertinggi dalam sejarah pemantauan.
Kondisi ini menunjukkan bahwa jejak karbon terus memburuk, dan konsekuensinya terlihat dalam tren pemanasan global. Kondisi ini tentunya punya dampak serius pada lingkungan dan kehidupan.
Dampak terhadap Lingkungan
Pemanasan global, sebagai akibat dari jejak karbon yang tinggi, memicu sejumlah perubahan lingkungan, antara lain:
- Mencairnya es di kutub
- Naiknya permukaan laut
- Memicu pola cuaca ekstrem, seperti badai, banjir, kekeringan, dan perubahan pola curah hujan.
- Rusaknya habitat alami dan keanekaragaman hayati
Selain itu, pemanasan global bisa memperburuk kualitas udara serta mengganggu siklus alam yang mendukung kehidupan.
Dampak terhadap Ekonomi dan Kesehatan
Perubahan iklim yang dipicu oleh jejak karbon juga membawa dampak pada sektor ekonomi dan kesehatan manusia.
Cuaca ekstrem dapat merusak infrastruktur, mengganggu produksi pertanian dan rantai pasok industri, serta memicu kerugian ekonomi besar.
Dari sisi kesehatan, polusi udara dan emisi dari industri dapat meningkatkan risiko penyakit pernapasan dan gangguan kesehatan lainnya, terutama di area perkotaan atau dekat kawasan industri.
Baca Juga: Energi Pasang Surut, Teknologi Hijau dari Ombak Laut
Bagaimana LNG Menjadi Solusi untuk Menekan Jejak Karbon?
LNG (Liquefied Natural Gas) menjadi salah satu pilihan energi fosil yang relatif lebih bersih dibandingkan batu bara dan minyak.
Pembakaran LNG menghasilkan sekitar 60% lebih sedikit CO₂ per MWh dibanding batu bara, serta hampir tidak menghasilkan SOx dan partikulat, sehingga mengurangi polusi udara lokal dan dampak kesehatan masyarakat.
Beberapa keunggulan LNG dalam konteks lingkungan dan transisi energi:
- Mengurangi emisi karbon sektor energi dibanding bahan bakar fosil berat.
- Membantu menstabilkan jaringan listrik saat energi terbarukan yang intermiten (angin dan surya) digunakan.
- Dapat dioperasikan lebih fleksibel daripada pembangkit batu bara, sehingga mendukung keandalan pasokan listrik.
Dalam transisi energi global dan nasional, LNG berperan sebagai bridge fuel yang menghubungkan energi fosil tradisional dengan energi terbarukan.
Dilansir dari laman Kementerian ESDM, pemerintah Indonesia menargetkan penurunan emisi GRK sebesar 314 juta ton CO₂e pada 2030, di mana penurunan penggunaan batu bara menjadi penting untuk mencapai target Net Zero Emission 2060.
Referensi:
- Kementerian ESDM. Diakses Tahun 2025. Menteri Arifin Tegaskan Peran Penting Migas di Era Transisi Energi
- Kementerian ESDM. Diakses Tahun 2025. Turunkan Emisi 314 juta ton CO2 Tahun 2030, Indonesia Perlu Investasi Rp 3.500 Triliun
- IEA. Diakses Tahun 2025. CO2 Emissions
- IPCC. Diakses Tahun 2025.CLIMATE CHANGE 2023